Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi bakteri yang paling umum terjadi, baik di masyarakat maupun di fasilitas pelayanan kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 150 juta kasus ISK terjadi setiap tahun secara global, menjadikannya sebagai penyebab utama morbiditas dan peningkatan beban ekonomi sistem kesehatan di berbagai negara. Di Indonesia, ISK juga termasuk infeksi yang sering ditemukan, dengan insidensi sekitar 90 hingga 100 kasus per 100.000 penduduk per tahun, atau setara dengan 180.000 kasus baru setiap tahunnya (Kementerian Kesehatan RI, 2020). Berdasarkan laporan nasional dan studi lokal, angka kejadian ISK tercatat cukup tinggi di layanan rawat jalan, terutama pada pasien perempuan, lansia, dan individu dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus atau yang menggunakan kateter. Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh (Suryani et al., 2025) yang menyebutkan bahwa ISK merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering ditemukan dalam praktik klinis di fasilitas pelayanan kesehatan. Perempuan memiliki risiko lebih tinggi mengalami infeksi saluran kemih dibandingkan lakilaki, yang disebabkan oleh faktor anatomi berupa uretra yang lebih pendek dan letaknya yang lebih dekat dengan anus, sehingga memudahkan kontaminasi oleh bakteri patogen. Risiko infeksi juga meningkat pada kelompok lanjut usia serta individu dengan penyakit penyerta, seperti diabetes mellitus dan gagal ginjal, maupun pada pasien yang menggunakan kateter urin jangka panjang. Apabila tidak ditatalaksana secara tepat, infeksi saluran kemih dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih berat, seperti pielonefritis atau bahkan menyebabkan komplikasi sistemik berupa sepsis (Ningsih et al., 2024). Antibiotik adalah pengobatan utama untuk ISK, tetapi penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antibiotik, peningkatan efek samping, dan pemborosan biaya pengobatan. Menurut beberapa penelitian, pengobatan ISK
dengan antibiotik masih sering tidak rasional. Sebuah penelitian yang dilakukan di RS Surakarta menunjukkan bahwa hanya 33,75% dari peresepan antibiotik yang rasional sisanya, dosis, durasi, dan pemilihan obat yang salah (Amrullah et al., 2022) Pendekatan kuantitatif dalam evaluasi penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan metode ATC/DDD (Anatomical Therapeutic Chemical/Defined Daily Dose) dan DU90% (Drug Utilization 90%). Metode ATC/DDD digunakan untuk menghitung jumlah konsumsi antibiotik berdasarkan dosis harian yang ditetapkan oleh WHO, sedangkan DU90% digunakan untuk mengidentifikasi kelompok antibiotik yang paling banyak digunakan dalam 90% total volume terapi. Kedua metode ini memungkinkan analisis peresepan secara objektif, terstruktur, dan efisien, terutama dalam populasi pasien rawat jalan yang datanya bersifat administratif. Dalam penelitian ini, metode ATC/DDD dan DU90% digunakan sebagai bagian dari pendekatan kuantitatif untuk menilai sejauh mana penggunaan antibiotik telah sesuai dengan prinsip rasionalitas, dan hasilnya akan dibandingkan dengan pendekatan kualitatif melalui metode Gyssens (Puspitasari et al., 2024). Pemilihan RSUD Dr. Moewardi Surakarta sebagai lokasi penelitian didasarkan pada statusnya sebagai rumah sakit rujukan tingkat provinsi dengan jumlah kunjungan pasien rawat jalan yang tinggi. Fasilitas ini memiliki sistem pencatatan rekam medis elektronik yang tersusun rapi dan terorganisir, sehingga mendukung pengumpulan data yang dibutuhkan dalam evaluasi penggunaan antibiotik, baik secara kuantitatif menggunakan metode ATC/DDD dan DU90%, maupun secara kualitatif dengan pendekatan Gyssens. Rumah sakit ini juga secara aktif menjalankan program peningkatan mutu pelayanan, termasuk pengawasan penggunaan antibiotik secara berkala, sehingga relevan dijadikan sebagai lokasi penelitian untuk menilai rasionalitas penggunaan obat serta mendukung upaya pengendalian resistensi antimikroba di tingkat layanan kesehatan primer dan sekunder (Azzahra et al., 2021).