Indikator yang bisa digunakan untuk mengukur derajat kesehatan pada suatu negara salah satunya adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Kematian ibu diartikan sebagai seluruh kematian semasa kehamilan, persalinan, dan nifas yang disebabkan gangguan kehamilan maupun penanganannya, tetapi bukan karena penyebab lain seperti kecelakaan atau terjatuh per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI, 2021). Angka Kematian Ibu (AKI) masih merupakan masalah utama bidang kesehatan di Indonesia serta masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) dalam menurunkan AKI secara global hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030 (Arifin, 2023). Menurut hasil Long Form Survei Penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, AKI di Indonesia sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka Kematian Ibu (AKI) di Provinsi Jawa Tengah berada sedikit di bawah AKI nasional, yakni tercatat mencapai 183 per 100.000 kelahiran hidup (Badan Pusat Statistik, 2020). Tiga penyebab utama kematian ibu adalah hipertensi dalam kehamilan, perdarahan, dan infeksi. Jumlah kasus hipertensi kehamilan di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 156 orang, kasus perdarahan sebanyak 96 orang, dan kasus infeksi sebanyak 15 orang (Kemenkes RI, 2021). Perdarahan yang menjadi penyebab kematian ibu dapat dibagi menjadi dua, perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. Etiologi dari perdarahan postpartum antara lain oleh atonia uteri, retensio plasenta, laserasi jalan lahir, gangguan pembekuan darah, dan yang terkini adalah plasenta akreta (Rajeshwari et al., 2020). Ada beberapa jenis dari retensio plasenta, salah satunya adalah Placenta Accreta Spectrum (PAS). Placenta Accreta Spectrum (PAS) ialah kondisi implantasi abnormal plasenta pada dinding uterus yang menjadi penyebab tersering perdarahan obstetrik masif selama persalinan. Keadaan tersebut berdampak kepada peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu hamil karena kehilangan
darah mencapai 3.000-5.000 mL (Piñas Carrillo dan Chandraharan, 2019). Insidensi PAS di dunia terus meningkat dari 0,12% menjadi 0,31% dengan rata-rata angka mortalitasnya mencapai 7,0% (El Gelany et al., 2019). Peningkatan kasus terjadi seiring dengan tingginya angka perlukaan rahim, antara lain oleh prosedur operasi sesar dan kuretase (Angolile et al., 2023; Khoirun Nisa dan Kartini, 2023). Kedua tindakan tersebut dapat melukai jaringan endometrium dan mengakibatkan implantasi plasenta abnormal. The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) menggolongkan derajat PAS menjadi grade 1, grade 2, dan grade 3. Grade 1 atau plasenta akreta adalah keadaan saat vili plasenta menempel terlalu dalam hingga permukaan miometrium. Grade 2 atau plasenta inkreta adalah keadaan saat vili plasenta menembus ke dalam lapisan miometrium. Grade 3 atau plasenta perkreta adalah keadaan saat vili plasenta masuk melewati miometrium dan menempel di lapisan perimetrium atau terkadang sampai menempel ke organ lain, seperti kandung kemih. Sekitar 75%-78% dari PAS adalah kasus plasenta akreta, tipe kedua tersering adalah plasenta inkreta sebanyak 17%, dan tipe paling jarang adalah plasenta perkreta sebanyak 5% (Tillu et al., 2019). Penemuan klinis pada PAS yang belum terdeteksi selama kehamilan berupa tidak luruhnya plasenta selang 20-30 menit setelah bayi lahir. Kondisi ini memerlukan tindakan invasif intrauterin untuk pengambilannya dan biasanya dapat mengakibatkan jaringan parut baru. Ada beberapa faktor risiko terjadinya PAS, seperti riwayat operasi sesar, plasenta previa, kuretase uterus, usia, multiparitas, dan merokok (Morlando dan Collins, 2020). Salah satu studi kohort prospektif yang dilakukan di Universitas Kobe, Jepang menemukan kemungkinan PAS meningkat sebesar 2,8 kali lipat pada wanita yang pernah menjalani kuretase (Imafuku et al., 2021). Studi kohort lainnya juga melaporkan bahwa seseorang dengan riwayat kuretase uterus memiliki peluang mengalami PAS sebesar 2,1 kali daripada seseorang tanpa riwayat kuretase (Baldwin et al., 2018). Berdasarkan studi case control di Egypt, wanita dengan riwayat kuretase memiliki risiko lebih besar untuk terkena
darah mencapai 3.000-5.000 mL (Piñas Carrillo dan Chandraharan, 2019). Insidensi PAS di dunia terus meningkat dari 0,12% menjadi 0,31% dengan rata-rata angka mortalitasnya mencapai 7,0% (El Gelany et al., 2019). Peningkatan kasus terjadi seiring dengan tingginya angka perlukaan rahim, antara lain oleh prosedur operasi sesar dan kuretase (Angolile et al., 2023; Khoirun Nisa dan Kartini, 2023). Kedua tindakan tersebut dapat melukai jaringan endometrium dan mengakibatkan implantasi plasenta abnormal. The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) menggolongkan derajat PAS menjadi grade 1, grade 2, dan grade 3. Grade 1 atau plasenta akreta adalah keadaan saat vili plasenta menempel terlalu dalam hingga permukaan miometrium. Grade 2 atau plasenta inkreta adalah keadaan saat vili plasenta menembus ke dalam lapisan miometrium. Grade 3 atau plasenta perkreta adalah keadaan saat vili plasenta masuk melewati miometrium dan menempel di lapisan perimetrium atau terkadang sampai menempel ke organ lain, seperti kandung kemih. Sekitar 75%-78% dari PAS adalah kasus plasenta akreta, tipe kedua tersering adalah plasenta inkreta sebanyak 17%, dan tipe paling jarang adalah plasenta perkreta sebanyak 5% (Tillu et al., 2019). Penemuan klinis pada PAS yang belum terdeteksi selama kehamilan berupa tidak luruhnya plasenta selang 20-30 menit setelah bayi lahir. Kondisi ini memerlukan tindakan invasif intrauterin untuk pengambilannya dan biasanya dapat mengakibatkan jaringan parut baru. Ada beberapa faktor risiko terjadinya PAS, seperti riwayat operasi sesar, plasenta previa, kuretase uterus, usia, multiparitas, dan merokok (Morlando dan Collins, 2020). Salah satu studi kohort prospektif yang dilakukan di Universitas Kobe, Jepang menemukan kemungkinan PAS meningkat sebesar 2,8 kali lipat pada wanita yang pernah menjalani kuretase (Imafuku et al., 2021). Studi kohort lainnya juga melaporkan bahwa seseorang dengan riwayat kuretase uterus memiliki peluang mengalami PAS sebesar 2,1 kali daripada seseorang tanpa riwayat kuretase (Baldwin et al., 2018).