Prolaps urogenital merupakan kondisi medis dimana beberapa organ panggul, seperti kandung kemih, rahim, usus, atau rektum, bergeser dari posisi normalnya dan menonjol ke dalam atau keluar dari vagina. Ini terjadi karena melemahnya otot dan jaringan penyokong panggul. Wanita memiliki potensi lebih tinggi untuk mengalami prolaps urogenital karena sejumlah faktor anatomi dan fisiologis yang unik. Dasar panggul pada dasarnya mencakup semua ligamen, otot, dan saraf yang terhubung dan berinteraksi dengan organ dasar panggul, rektum, kandung kemih, rahim, dan vagina. Ketika dukungan terhadap beberapa ini melemah, maka beberapa organ tersebut akan ikut terpengaruh. Pria dan wanita mungkin mengalami masalah pada organ ini (Buchman, 2022). Prolaps urogenital prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia, dengan mempengaruhi sekitar 40% wanita berusia di atas 50 tahun. Gejalanya berupa rasa berat pada vagina, sensasi ada benjolan yang turun ke dalam vagina, dan rasa tidak nyaman/tertekan pada panggul yang sangat mempengaruhi kualitas hidup wanita dengan proplaps urogenital. Pada perawatan operatif atau bedah dapat berupa histerektomi. Pelvic Floor Muscle Training (PFMT), perubahan gaya hidup, dan pengobatan estrogen, semuanya bertujuan untuk mencegah gejala dan memperburuk prolaps urogenital (Salsabila et al., 2021). Secara global, angka kejadian wanita yang menderita prolaps urogenital sulit diprediksi secara pasti karena masih berbatas pelaporan kasus ke fasilitas dan ahli medis, namun kasus prolaps urogenital cukup sering terjadi pada wanita yang berusia lanjut. Prolaps urogenital diperkirakan terjadi pada hampir separuh wanita berusia di atas 50 tahun, dan diperkirakan satu dari sepuluh wanita akan menjalani perawatan bedah pada usia 80 tahun. Meskipun hampir separuh wanita berusia di atas 50 tahun yang pernah melahirkan ditemukan mengalami prolaps urogenital pada pemeriksaan fisik, hanya 5- 20% yang menunjukkan gejala (Wibisono, 2017). Pada usia di atas 50 tahun, 5-20% mengeluhkan gejala retensi urin pascaoperasi (POUR) yang sering terjadi pascabedah ginekologi, terutama pascaterapi operatif inkontinensia urin dan POP, yaitu berkisar 2,5% - 24%. Tidak ada definisi yang jelas tentang POUR, sehingga menjadi tantangan dalam mendiagnosis kondisi ini dan menyebabkan keterlambatan dalam penatalaksanaannya. Gerakan serviks vesikourinari merupakan parameter yang perlu diukur untuk menilai gangguan perkemihan pada pasien dengan prolaps urogenital (Ma’soem et al., 2024). Pelvic Floor Impact Questionnaire (PFIQ) merupakan instrumen yang sangat direkomendasikan oleh International Continence Society (ICS) untuk menilai terjadinya disfungsi dasar panggul dan untuk mengukur seberapa besar disfungsi ini mempengaruhi kualitas hidup. (de Figueiredo et al., 2020) PFDI-20, PFIQ-7 dan PISQ-12 banyak digunakan untuk membantu peneliti mengevaluasi kemanjuran terapi prolaps urogenital atau untuk membandingkan tingkat keparahan gejala antara kedua pasien atau kelompok. Instrumen ini menjadi alat yang divalidasi untuk mengukur tingkat keparahan prolaps urogenital dan menilai efektivitas terapi (Mattsson et al., 2017). Adanya kesenjangan dalam pelayanan kesehatan, belum meratanya persebaran tenaga kesehatan di Indonesia, khususnya tenaga kesehatan spesialis, merupakan kendala yang sulit diatasi. Kondisi seperti ini, disadari atau tidak, sangat menyulitkan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan kesehatan di Indonesia. Untuk merespon krisis kesehatan di pedesaan dan perbatasan di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas, dibutuhkan suatu metode yang dapat mengatasi permasalahan tersebut secara efektif dan efisien. Strategi yang diterapkan adalah model pelayanan kesehatan yang tidak biasa, yaitu petugas kesehatan dan pasien tidak bertemu langsung tetapi terhubung menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang disebut Telemedicine (Toolkit et al., 2020).