Kematian ibu masih menjadi sebuah tantangan di Indonesia. Pada tahun 2017 tercatat masih terjadi 295.000 kematian ibu yang mayoritas terjadi pada negara dengan pendapatan menengah ke bawah. Indonesia memiliki target, yang tercantum dalam Sustainable Development Goals (SDGs), menurunkan rasio Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 70 kasus kematian dari 100.000 kelahiran. Pada tahun 2015, ditemukan penurunan angka kematian ibu yaitu 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 menjadi 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Namun angka tersebut masih jauh dari target. Bahkan target penurunan rasio Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia pada Millenium Development Goals (MDGs) yang seharusnya dicapai pada tahun tersebut belum tercapai. Angka yang didapatkan masih tiga kali lipat yang mana seharusnya AKI dapat diturunkan sampai angka 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Terdapat beberapa penyebab yang berkontribusi dalam angka kematian ibu yang tinggi. Kematian ibu dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang terjadi selama kehamilan atau selama proses persalinan. Persalinan merupakan proses dimana terjadinya kontraksi pada ibu yang bertujuan untuk mengeluarkan janin dari rahimnya (Kilpatrick and Garrison, 2013). Sebagian besar penyebab kematian ibu dapat dicegah dalam pengembangannya selama kehamilan. Faktor tersebut antara lain perdarahan berat pascapersalinan, infeksi post-partum, tekanan darah tinggi selama kehamilan, komplikasi selama proses persalinan dan aborsi yang mana berkontribusi kurang lebih 75% dalam angka kematian ibu (WHO, UNICEF, 2019).
Pada saat melahirkan, perineum seorang ibu berisiko terjadi robekan. Perineum merupakan area yang berada diantara vagina dan anus.
Robekan pada perineum merupakan salah satu penyebab dari terjadinya perdarahan pascapersalinan. Pada wanita yang melakukan partus normal, 85% diantaranya mengalami ruptur perineum dengan berbagai tingkatan dari mulai yang dapat sembuh sendiri sampai yang perlu mendapat penanganan khusus untuk menghindari komplikasi (Goh et al., 2018) Beberapa faktor risiko penyebab terjadinya ruptur perineum antara lain berat bayi baru lahir yang besar (>4000g), nuliparitas, partus lama kala II, usia ibu, induksi persalinan, distosia bahu, episiotomi medial, prosedur ekstraksi vakum pada persalinan dan posisi oksiput posterior (Djaković et al., 2018). Ruptur perineum dapat menimbulkan beberapa komplikasi yang dapat membahayakan ibu. Komplikasi dari ruptur perineum antara lain perdarahan, hematoma, fistula, dan infeksi (Prawitasari et al., 2015). Pada penelitian yang dilakukan di UNS pada tahun 2014, dikatakan bahwa terdapat hubungan antara berat badan bayi baru lahir dengan kejadian ruptur perineum, akan tetapi belum dilakukan penelitian mengenai pengaruhnya terhadap derajat ruptur perineum (Jamilah, 2014). Pada penelitian yang dilakukan di Purbalingga dikatakan tidak ada pengaruh antara berat badan bayi baru lahir dengan derajat ruptur perineum berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di Makassar mengatakan adanya pengaruh antara berat badan bayi baru lahir dengan derjajat ruptur perineum (Haniyah and Adriani, 2019; Pohan, 2019). Pada Laporan Tahunan RSUD dr Moewardi tahun 2019 tercatat terdapat 786 kelahiran hidup pada tahun 2018, 739 pada tahun 2019, dan 368 pada tahun 2020 triwulan 1 dan 2. Berdasarkan data tersebut terdapat kelahiran spontan sebanyak 343 pada tahun 2018, 319 pada tahun 2019 dan 101 pada tahun 2020 triwulan 1 dan 2 (RSUD Dr. Moewardi, 2020b, 2020a). Sehubungan dengan tingginya angka kelahiran spontan di RSUD Dr. Moewardi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan derajat ruptur perineum