Gagal jantung adalah kondisi ketidakmampuan jantung memompa darah secara efektif untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kondisi ini dapat dibedakan menjadi dua kategori utama gagal jantung akut dan gagal jantung kronis, yang memiliki perbedaan dalam hal onset, gejala, dan penanganan. Gagal jantung akut memiliki onset yang mendadak dan mengancam jiwa. Penyebabnya dapat dipicu oleh peristiwa mendadak seperti serangan jantung, aritmia berat, krisis hipertensi atau disfungsi katup jantung akut. Gejala yang terjadi muncul dengan cepat meliputi sesak napas, nyeri dada, denyut jantung tidak teratur dan edma yang signifikan. Intervensi medis harus dilakukan dengan segera untuk menstabilkan kondisi pasien dan mengatasi penyebab yang mendasarinya. Gagal jantung kronis onsetnya berkembang secara perlahan dalam periode waktu yang panjang, penyebab tersering merupakan hipertensi, penyakit arteri koroner atau kardiomiopati. Gejala berkembang secara bertahap meliputi kelelahan, sesak napas saat beraktivitas, edema ringan dan penurunan aktivitas fisik. Terapi yang diberikan berfokus pada manajemen jangka panjang dengan perubahan gaya hidup, pengobatan dan pemantauan rutin untuk memantau perkembangan penyakit (Malik et al., 2023; McDonagh et al., 2023). Angka kejadian gagal jantung secara global diperkirakan mencapai 64,3 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi gagal jantung diperkirakan akan terus meningkat. Hal ini akan berimbas terhadap biaya perawatan kesehatan di seluruh dunia. Gagal jantung juga menjadi masalah kesehatan terbesar di Asia dengan angka tertinggi di Thailand (19%), Vietnam (15%), Filipina (9%), Taiwan (2,2%), Malaysia (6,7%), dan Singapura (4,5%), yang menjadi salah satu prevalensi tertinggi di Asia bahkan di dunia (Saroinsong et al., 2021). Berdasarkan data kematian tertinggi, Asia Tenggara menempati urutan ketiga setelah Afrika dan India. Dua negara Asia dengan tingkat kematian tertinggi pada terutama pada anak Thailand dan Korea Selatan, dengan angka sebesar 6%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia lainnya. (Rampengan et al., 2018; Virani et al., 2021). Indonesia menempati posisi ketiga dalam jumlah kematian akibat penyakit kardiovaskular, setelah Laos dan Filipina. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan Indonesia pada tahun 2018, jumlah penderita gagal jantung di Indonesia terus meningkat setiap tahun, dengan perkiraan mencapai 2.784.064 orang. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 0,13%. Kasus gagal jantung terbanyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat dengan 186.809 pasien, sedangkan jumlah kasus paling sedikit tercatat di Provinsi Kalimantan Utara, yakni sebanyak 2.733 orang (Riskesdas., 2018). Gagal jantung terjadi akibat penurunan cardiac output baik dari perubahan struktur anatomi jantung maupun fungsi yang terjadi secara fisiologis seperti proses penuaan ataupun patologis, sehingga mengaktifkan mekanisme kompensasi berupa aktivasi renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS) dan sympathetic nervous system (SNS) secara berlebih, akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik hingga berkembang menjadi gagal jantung. New york heart association (NYHA) adalah sistem klasifikasi fungsi aktivitas fisik pada pasien gagal jantung, yang mencerminkan derajat keparahan gejala dan toleransi aktivitas, walapun bersifat subjektif NYHA adalah penanda penting terhadap status fungsional dan progresi penyakit gagal jantung.Penegakan diagnosis gagal jantung dilakukan melalui anamnesis yang meliputi faktor risiko serta tanda dan gejala gagal jantung, lalu pemeriksaan penunjang seperti rekam jantung atau elektrokardiografi (EKG) yang abnormal, hasil dari pemeriksaan kadar NT-proBNP > 125 pg/ml atau BNP > 35 pg/ml dan abnormalitas dari hasil ultrasonografi (USG) jantung atau ekokardiografi (McDonagh et al., 2021; Abassi et al., 2022). Perburukan pada gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa faktor resiko diantaranya usia, obesitas dan hipertensi. Penuaan termasuk dalam faktor risiko perkembangan gagal jantung. Seiring bertambahnya usia, terjadi perubahan struktural dan fungsional pada sistem kardiovaskular yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit jantung. Salah satu mekanisme yang berperan dalam proses ini yaitu inflamasi kronis yang terkait dengan penuaan, dikenal sebagai inflammaging dan senescene. Obesitas menyebabkan peningkatan beban kerja jantung melalui peningkatan cardiac output yang dalam proses kronis akan mengakibatkan hipertrofi ventrikel memburuk. Hipertensi akan meningkatkan beban kerja jantung, sehingga mengakibatkan peningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokard. Mekanisme hipertensi yang kronis akan mengakibatkan kondisi hipoksia pada miokard (Huang et al., 2021; Nuriliani et al., 2023). Perburukan pada gagal jantung dinilai berdasarkan kematian dan rehospitalisasi akibat penyakit jantung. Gagal jantung memiliki periode kerentanan, yang menggambarkan periode tertentu dari gagal jantung dengan kerentanan tinggi terhadap dampak buruk yaitu kematian dan rehospitalisasi. Prognosis didapati akan memburuk setiap terjadi rehospitalisasi pada gagal jantung. Harapan hidup menurun dari 2,5 tahun setelah rawat inap pertama akibat gagal jantung menjadi < 1> 4 rawat inap akibat gagal jantung. Risiko rehospitalisasi meningkat setelah terjadi serangan gagal jantung akut. diperkirakan sekitar 1 dari 4 pasien akan mengalami rehospitalisasi dalam 30 hari pertama (Serrano et al., 2024). Kematian pada gagal jantung memiliki penyebab tersering sebesar 30-50% akibat progressive pump failure yang disebabkan oleh disfungsi ventrikel kiri yang semakin buruk sehingga terjadi syok kardiogenik, edema paru akut, dan penurunan perfusi organ vital (otak, ginjal, hati). Penyebab kematian tersering selanjutnya 20-30% diakibatkan oleh aritmia seperti ventrikular takikardia dan ventrikular fibrilasi yang sering terjadi pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah (Adabag et al., 2022; Tromp J et al., 2023). Evaluasi terapi yang digunakan saat ini berupa evaluasi klinis pasien dari gejala, denyut jantung, irama jantung dan tekanan darah, pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin lengkap, elektrolit dan fungsi renal. Durasi pemeriksaan evaluasi tidak boleh lebih dari 6 bulan, khususnya untuk pasien yang baru pulang dari perawatan dirumah sakit atau mendapat peningkatan dosis terapi pemeriksaan evaluasi harus lebih sering. Pemeriksaan EKG dilakukan secara berkala untuk mendeteksi pemanjangan pada kompleks QRS yang mengindikasikan adanya gangguan konduksi jantung atau fibrilasi atrium dan kemungkinan diperlukannya terapi sinkronisasi ulang jantung. Pemeriksaan evaluasi pasien gagal jantung dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer, tidak harus oleh dokter spesialis kardiologi. Hingga saat ini belum ditetapkan biomarker yang spesifik dan ideal untuk evaluasi gagal jantung (Felker et al., 2017; McDonagh et al., 2021). Sejumlah penelitian dilakukan untuk menginvestigasi penggunaan biomarker sebagai evaluasi terapi pada gagal jantung, namun belum ditemukan bukti yang efisien penggunaan biomarker dalam evaluasi terapi pasien gagal jantung. Terdapat beberapa biomarker yang dikembangkan sebagai evaluasi terhadap pasien gagal jantung seperti penggunaan biomarker Soluble suppression of tumorgenicity 2 (sST2) namun dinilai kurang efektif dalam memprediksi mortalitas jangka panjang pada pasien gagal jantung dan berfokus pada proses fibrosis dan remodelling kronik sehingga tidak mecerminkan status hemodinamik akut dengan area under curve (AUC) 0,62 hazard ratio (HR) 1,19; (IK 95%: 1,05-1,53) (Riccardi et al, 2023). Kadar NT-proBNP berkolerasi dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, kongesti paru dan status hemodinamik pasien, sehingga pedoman european society of cardiology (ESC) tidak merekomendasikan pemeriksaan rutin BNP atau NT-pro BNP dalam penentuan dosis evaluasi terapi pada pasien gagal jantung akibat variabilitas dari hasil penelitian dan kurangnya sensitivitas pada variasi fraksi ejeksi tertentu terutama heart failure preserved ejection fraction (HFpEF) pada penelitian Pandey et al tahun 2022 didapatkan HR 1,80 (IK 95%: 1,38-2,35) (McDonagh et al., 2021; Mc Murray et al., 2022). Growth differentiation factor-15 (GDF-15) termasuk anggota dari superfamili faktor pertumbuhan transformasi-? yang berperan sebagai sitokin terhadap respons stres. Growth differentiation factor-15 (GDF-15) merupakan biomarker baru yang masih dikembangkan sebagai marker evaluasi gagal jantung yang dikaitkan dengan angka rehospitalisasi dan perburukan derajat gagal jantung. Pada kondisi gagal jantung, GDF-15 dihasilkan sebagai respons terhadap berbagai kondisi patologis seperti inflamasi, stres oksidatif, dan hipoksia. Peningkatan kadar GDF-15 dalam sirkulasi darah mencerminkan derajat keparahan gagal jantung dan telah diidentifikasi sebagai prediktor independen untuk mortalitas dan kejadian kardiovaskular mayor pada pasien dengan gagal jantung kronis. Peningkatan kadar GDF-15 yang signifikan dapat menunjukkan adanya stres miokard yang berat dan prognosis yang buruk. Oleh karena itu, GDF-15 dianggap sebagai biomarker potensial dalam manajemen gagal jantung, membantu dalam stratifikasi risiko dan penentuan strategi terapi yang lebih tepat dikarenakan mekanisme GDF-15 yang melibatkan proses inflamasi sehingga dapat memberikan informasi lebih terhadap perkembangan dari gagal jantung (Tromp et al., 2019; Gurgoze et al, 2023; Bradley et al., 2024). Penelitian terbaru menunjukan peningkatan kadar GDF-15 dikaitkan dengan peningkatan risiko semua penyebab kematian pada gagal jantung, terutama pada pasien dengan etiologi iskemik, sehingga mungkinkan GDF-15 untuk menjadi indikator prognosis pada pasien gagal jantung. Kadar GDF-15 yang tinggi dikaitkan dengan rehospitalisasidan mortalitas akibat gagal jantung. Biomarker GDF-15 teridentifikasi sebagai faktor risiko independent pada perburukan luaran pasien gagal jantung di seluruh spektrum fraksi ejeksi khususnya pada kategori Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFpEF). Peningkatan signifikan pada kadar GDF-15 pada saat di rawat inap berasosiasi dengan peningkatan risiko mortalitas dalam 30 hari (Luo et al., 2021; Binder et al., 2023; Cham et al., 2023; Otaki et al., 2023; Lyu et al., 2024; Kosum et al., 2024). Beberapa penelitian telah membahas hubungan GDF-15 dengan peranannya sebagai marker perburukan gagal jantung, namun batas konsentrasi GDF-15 sebagai prediktor perburukan pada gagal jantung masih belum disepakati hingga saat ini sehingga penulis ingin menganalisis peran GDF-15 sebagai prediktor perburukan pada gagal jantung.