Bronkoskopi fleksibel merupakan tindakan invasif dengan menggunakan tabung fleksibel dengan cahaya dan kamera video (bronkoskop) untuk tujuan diagnostik dan terapeutik. Bronkoskopi fleksibel merupakan prosedur yang tergolong aman, namun prosesnya yang invasif dapat menyebabkan pasien merasa stres, cemas, dan takut, sehingga digunakan agen sedasi untuk meningkatkan kenyamanan pasien.1 Namun, prosedur tindakannya bervariasi di seluruh dunia, termasuk premedikasi yang digunakan untuk memperlancar prosedur. Penggunaan sedasi saat bronkoskopi fleksibel masih menjadi perdebatan pada beberapa literatur. Tujuan dari sedasi adalah untuk meningkatkan kenyamanan pasien dan mempermudah prosedur bagi bronkoskopis. Meskipun bronkoskopi dapat dilakukan tanpa sedasi, sebagian besar dilakukan dengan sedasi sedang.2 Agen sedasi paling ideal yang digunakan untuk premedikasi adalah agen sedasi dengan karakteristik onset cepat, durasi singkat, dan waktu pemulihan cepat. Agen yang umum digunakan sebagai premedikasi bronkoskopi berasal dari golongan antikolinergik seperti atropin dan glikopirrolat untuk mengurangi sekret, bronkokonstriksi, dan menekan refleks vagal, antitusif seperti dextromethorphan, dan agen sedatif seperti midazolam, propofol, dexmedetomidine, dan fentanil.1 Dexmedetomidine adalah agonis α2 adrenergik highly selective yang memiliki sifat sedasi dan analgesik. Dexmedetomidine termasuk obat relatif baru yang tidak hanya memiliki manfaat sedasi saja, namun juga berperan sebagai simpatolisis, analgesik, dan risiko rendah terjadinya apnea karena tidak menyebabkan depresi pernapasan.3 Mekanisme kerja dexmedetomidine yaitu dengan menekan pelepasan norepinefrin endogen pada otak dan medulla spinalis. Beberapa studi sebelumnya telah melaporkan efikasi dan kemanan dexmedetomidine pada prosedur-prosedur lain seperti kolonoskopi, endoscopic retrograde cholangio-pancreatography (ERCP), prosedur laparoskopik, shockwave lithotripsy, operasi retina, dan operasi pediatri. Apabila dibandingkan
dengan agen sedasi lainnya, dexmedetomidine tidak berefek pada partial pressure of end-tidal CO2 (PetCO2), namun dapat meningkatkan oksigenasi.5 Hal ini ditunjukkan melalui insidensi hipoksia pada dexmedetomidine lebih rendah dibandingkan pada penggunaan midazolam, serta toleransi pasien lebih meningkat dengan dexmedetomidine.2 Penelitian Gu et al tahun 2019 di China menemukan bahwa pemberian dexmedetomidine melalui nebulisasi secara signifikan mampu mengurangi kejadian batuk sedang hingga berat dari 55% menjadi 15%.4 Penelitian oleh Antony et. al., tahun 2023 di India juga membuktikan bahwa dexmedetomidine inhalasi lebih efektif meningkatkan kenyamanan pasien, mengurangi batuk, dan memperpendek masa pemulihan bila dibandingkan agen standar untuk premedikasi. Pemberian dexmedetomidine melalui nebulisasi merupakan metode sedasi non-invasif yang mudah diadministrasikan. Nebulisasi dexmedetomidine dapat mengurangi bronkospasme secara adekuat.5 Selain itu, dalam premedikasi bronkoskopi juga menggunakan agen anestesi lokal yaitu lidokain. Penelitian Dreher M et al tahun 2016 di Kanada menunjukkan pemberian lidokain selama bronkoskopi melalui nebulizer ditemukan ditoleransi dengan baik dan aman dibandingkan dengan pemberian anestesi lokal dengan jarum suntik.6 Studi dari Tobias Muller et al tahun 2018 di Jerman menyimpulkan pemberian lidokain topikal melalui nebulizer selama bronkoskopi fleksibel dengan sedasi sedang dikaitkan dengan berkurangnya konsumsi lidokain dibandingkan dengan pemberian standar melalui jarum suntik. Lidokain memiliki bagian lipofilik yang terhubung dengan bagian hidrofilik melalui rantai amida, sehingga bagian lipofilik ini dapat meningkatkan potensi, durasi, dan memengaruhi mekanisme kerja lidokain. Obat ini bekerja dengan cara menghambat aktivasi kanal sodium, yang pada gilirannya dapat menstabilkan membran neuron. Ini menghasilkan ketidakmungkinan potensi aksi dan gangguan dalam konduksi impuls saraf. Selain itu, lidokain mampu memblokade beberapa jenis neuron, termasuk saraf otonom, saraf C tidak bermielin yang menghantarkan sensasi nyeri, serta saraf A gamma, alfa, dan beta yang menghantarkan impuls tekanan, sentuhan, propioseptif, dan sinyal motorik7 Dalam uji coba acak ganda yang dilakukan oleh Gu et.al tahun 2020 di Cina, terbukti bahwa penggunaan dexmedetomidine-lidokain dengan metode nebulisasi
sebagai premedikasi untuk bronkoskopi fleksibel dapat ditoleransi dengan baik selama prosedur bronkoskopi dengan tingkat sedasi sedang. Selain itu, penggunaan metode ini juga dikaitkan dengan penurunan kejadian batuk sedang hingga parah, waktu pemulihan yang lebih singkat, dan mengurangi penggunaan vasokonstriktor.4 Namun penelitian mengenai penggunaan kombinasi obat dexmedetomidine dan lidokain sebagai agen premedikasi pada pasien yang menjalani bronkoskopi sangat terbatas terutama di Indonesia. Oleh karena itu, pada penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh inhalasi dexmedetomidine dan lidokain sebagai premedikasi bronkoskopi terhadap skala nyeri, derajat batuk, sesak napas dan mean artrerial pressure (MAP) perlu dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi (RSDM) Surakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menguatkan tingkat kenyamanan prosedur bronkonkoskopi serta menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang pulmonologi dan kedokteran respirasi.