Berdasarkan pedoman diagnosis dan tatalaksana hipertensi paru (PH) oleh perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular Indonesia (PERKI) tahun 2021, PH didefinisikan sebagai peningkatan tekanan rerata arteri paru (mean pulmonary artery pressure / mPAP) > 20 mmHg pada saat istirahat dengan pengukuran langsung melalui kateterisasi jantung kanan. PH diklasifikasikan menjadi 5 kelompok berdasarkan etiologi, patofisiologi, presentasi klinis, dan gambaran hemodinamik yang ditemukan. (Humbert et al., 2022) Klasifikasi lengkap akan dibahas pada bagian berikutnya. Walau terdapat klasifikasi berbeda, patofisiologi dari seluruh PH memiliki dasar yang sama yaitu adanya remodelling pada pembuluh darah paru-paru yang berujung pada meningkatnya tekanan pembuluh darah paru-paru dan timbulnya berbagai gejala klinis. (Lan N, 2018) PH memiliki gejala yang tidak terlalu khas, umumnya menyerupai gejala gagal jantung kanan, seperti: sesak saat beraktivitas, mudah lelah, sesak saat membungkuk, berdebar, atau sinkop. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya distensi vena jugularis, peningkatan suara jantung kedua, suara jantung tambahan S3, murmur, pembesaran jantung kanan, ascites, hepatomegaly, dan edema perifer. (Galie et al., 2017). Dalam dekade terakhir, tatalaksana PH berkembang cukup pesat, dengan berfokus utamanya pada kemampuan vasodilatasi pembuluh darah paru-paru. Namun hingga saat ini belum terdapat tatalaksana yang dapat mempengaruhi secara langsung proses remodeling dari pembuluh darah paru-paru yang merupakan proses sentral dalam patogenesis PH. (PERKI, 2021) Terdapat beberapa kendala dalam mengurangi beban kesehatan dari PH diseluruh dunia, secara lebih spesifik di Indonesia. Yang pertama, pasien dengan PH utamanya datang dalam fase lanjutan dikarenakan gejala yang tidak terlalu khas pada fase awal penyakit, PH yang sudah dalam fase lanjutan umumnya sudah menunjukkan progresifitas kearah gagal jantung dan atau paru-paru sehingga penanganan menjadi lebih sulit dengan prognosis yang buruk. Faktor kendala lainnya adalah ketersediaan alat-alat penunjang untuk mendiagnosis PH yang belum tersebar merata diseluruh penjuru Indonesia, utamanya pada daerah perifer. Sehingga sering terdapat kebimbingan dalam menginisiasi tatalaksana bagi pasien yang dicurigai PH namun belum terkonfirmasi oleh pemeriksaan penunjang. Ditambah dengan kondisi dimana obat-obatan untuk PH tergolong langka dan wajib dikonsumsi seumur hidup, hal ini juga menjadi satu masalah lain bagi bagi kesemua pihak, baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi sosioekonomi. Kendala juga ditemukan pada tatalaksana PH. Obat-obatan spesifik untuk PH sesuai dengan panduan sangat sulit didapatkan, sehingga sering digunakan obat-obatan yang dapat mengurangi gejala namun tidak spesifik terhadap PH. Kondisi-kondisi tersebut diatas menjadi landasan dalam menentukan suatu strategi dalam deteksi dan tatalaksana PH yang baik dan tepat guna mengurangi beban penyakit ini, baik kepada pasien ataupun tenaga medis. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu catatan lengkap/registri terkait pasien PH diseluruh Indonesia yang melingkupi karakteristik demografi, presentasi klinis, temuan pemeriksaan penunjang, tatalaksana yang dapat diberikan, komplikasi dan luaran yang terjadi. Kedepannya, registri ini diharapkan mampu menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya, menjadi pertimbangan dalam melakukan pengembangan fasilitas dan peningkatan pelayanan yang berujung pada peningkatan luaran untuk pasien PH di seluruh Indonesia.