Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan peradangan sistemik dan kerusakan multiorgan. Penyakit ini juga ditandai dengan disregulasi sistem imun, yang melibatkan hiperaktivitas limfosit T dan B, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun yang menyebabkan kerusakan organ melalui pengendapan di jaringan inang (Lisnevskaia et al., 2014). Sebuah studi epidemiologi global melaporkan prevalensi SLE global yang terkena diperkirakan sebesar 43,7 per 100.000 orang dengan keseluruhan total populasi SLE sebanyak 3,41 juta orang. Di tingkat regional, prevalensi SLE pada populasi umum bervariasi dari 15,9 per 100.000 orang di Asia Selatan hingga 110,85 per 100.000 orang di Amerika Latin tropis. Prevalensi SLE sangat berbeda di setiap negara. Indonesia merupakan negara dengan jumlah populasi SLE terbesar ke-4 di dunia dengan 131.214 wanita dan 15.617 pria terdiagnosis SLE (Tian et al., 2023). Sebuah studi di RS Hasin Sadikin (RSHS) Jawa Barat melaporkan sebanyak 813 pasien yang terdaftar di RSHS hingga Desember 2017. Dari total 762 pasien baru penyakit reumatik di klinik reumatologi RS Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia pada tahun 2017, terdapat 213 pasien baru (27,9%). Sebanyak 4.635 pasien SLE yang datang ke klinik tersebut, termasuk pasien baru. Sebanyak 95,6% (777) pasien adalah perempuan, 22 kali lebih banyak daripada laki-laki (22:1). Mayoritas pasien berusia 21 hingga 30 tahun (39,6%) (Hamijoyo et al., 2019). Flare, atau periode peningkatan aktivitas penyakit, umum terjadi pada pasien SLE dan sering kali disertai dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi. Sitokin berperan penting dan beragam dalam patogenesis SLE, dan keseimbangannya menentukan aktivitas penyakit. Sitokin telah terlibat dalam regulasi aktivitas penyakit dan keterlibatan berbagai organ pada pasien SLE. Sitokin sel T helper (Th) yang abnormal telah terbukti terlibat dalam patogenesis penyakit autoimun (Illei et al., 2004; Mok & Lau, 2003).
Penyakit SLE memiliki periode eksaserbasi dan remisi yang berfluktuasi yang memiliki dampak negatif yang signifikan, pada kepuasan pasien dan kualitas hidup terkait kesehatan (Health Related Quality of Life; HRQoL) (Mirabelli et al., 2015). Kecemasan adalah salah satu komorbiditas psikiatris yang dapat berkembang pada berbagai tahap SLE (Hawro et al., 2011). Gangguan mood dan kecemasan dilaporkan menjadi sindrom neuropsikiatri kedua yang paling sering terjadi pada pasien SLE, terutama wanita (Seawell & Danoff-Burg, 2005). Beberapa sitokin inflamasi juga telah terbukti berhubungan dengan perkembangan gangguan suasana hati dan kecemasan (Felger & Lotrich, 2013). Individu dengan kecemasan parah dan gejala depresi telah melaporkan kesulitan terlibat dalam rencana pengobatan terkait kesehatan mereka yang mengakibatkan hilangnya kontrol yang memadai terhadap gejala SLE mereka (McElhone et al., 2007). Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) adalah sekelompok gejala dan komplikasi yang memengaruhi sistem saraf pusat dan saraf simpatis, yang terjadi sebagai bagian dari kondisi sistemik dari SLE. NPSLE dapat menampilkan gejala yang sangat bervariasi, salah satunya adalah cemas (Fanouriakis et al., 2021). Cemas adalah kekhawatiran terhadap bahaya atau kemalangan yang disertai dengan ketakutan, disforia, atau ketegangan. Cemas termasuk kecemasan umum (generalized anxiety), fobia, gangguan panik, serangan panik, dan gangguan obsesif-kompulsif (Hanly et al., 2008). Kecemasan merupakan gejala psikiatrik yang sering menyertai perjalanan penyakit SLE dengan prevalensi berkisar antara 2,9% dan 84,9% (Brey et al., 2002; Yilmaz-Oner et al., 2015). Kecemasan, seperti halnya depresi, dapat berkisar dari tingkat keparahan gejala ringan, yang menyebabkan persepsi penyakit yang lebih negatif, hingga gangguan kecemasan klinis yang lebih parah dengan dampak negatif yang merugikan pada aktivitas kehidupan seharihari, peran sosial, dan HRQoL seseorang (Mok et al., 2016; Nowicka-Sauer et al., 2018). Gangguan kecemasan merupakan manifestasi NPSLE (dari total 19 NPSLE yang didefinisikan oleh American College of Rheumatology [ACR]) (The American College of Rheumatology, 1999).
Pasien SLE sering kali mengalami tingkat kecemasan dan nyeri yang signifikan, terutama selama flare. Gejala-gejala ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup tetapi juga mempersulit penanganan SLE. Studi oleh Cigni et al. (2014) telah menunjukkan bahwa sitokin proinflamasi seperti IL-1 ditemukan meningkat pada pasien SLE aktif tanpa pengobatan, sehingga dapat memengaruhi gangguan suasana hati dan persepsi nyeri pada pasien SLE (Jones et al., 2016). Tatalaksana nonfarmakologi sangat penting dalam pengelolaan SLE karena dapat membantu mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Pendekatan ini mencakup perawatan psikologis, manajemen stres, perubahan gaya hidup, dan dukungan sosial yang semuanya berperan dalam menjaga keseimbangan fisik dan emosional penderita SLE (Wang et al., 2022; Warchoł-Biedermann et al., 2022). Tatalaksana psikologis, seperti terapi kognitif perilaku, sangat penting untuk membantu pasien mengatasi stres dan kecemasan yang sering muncul akibat penyakit kronis ini, sehingga dapat mengurangi dampak negatif pada kesehatan mental dan memperkuat kemampuan mereka untuk menjalani perawatan medis secara efektif (Chang et al., 2021; Taub et al., 2021). Salah satu intervensi psikologis yang diterapkan pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit adalah guided imagery. Teknik ini digunakan baik untuk tatalaksana kecemasan terkait penyakit, nyeri pascaoperasi, maupun perawatan paliatif (Battino, 2020; Cole, 2021). Guided imagery adalah teknik relaksasi yang didasarkan pada interaksi otak, pikiran, tubuh, dan perilaku. Di dalamnya, semua indera diaktifkan melalui imajinasi objek, tempat, atau peristiwa yang menyenangkan yang menghasilkan perasaan nyaman dan relaksasi. Di dalamnya, semua indera diaktifkan melalui imajinasi objek, tempat, atau peristiwa yang menyenangkan yang menghasilkan perasaan nyaman dan relaksasi (Kumari & Patil, 2023). Dengan demikian, penerapan guided imagery dalam pengelolaan penyakit kronis dapat memberikan pendekatan yang komprehensif dan multidimensional, membantu pasien tidak hanya dalam mengatasi nyeri fisik tetapi juga dalam meningkatkan kesejahteraan emosional mereka (Kaplun et al., 2021; Pinto et al., 2024).
Guided Imagery sebagai intervensi terapi imajinasi terbimbing adalah teknik pikiran-tubuh yang melibatkan visualisasi gambar positif dan menenangkan untuk meningkatkan relaksasi dan mengurangi stres. Pendekatan terapi ini telah terbukti mengurangi kecemasan dan nyeri pada berbagai populasi klinis (Giacobbi et al., 2015). Secara khusus, pasien SLE menunjukkan kadar molekul pro-inflamasi interleukin-1 (IL-1) , IL-6, dan IL-10, dan TNF-α yang lebih tinggi (Cigni et al., 2014). Peningkatan peradangan memperburuk nyeri melalui pengaktifan dan pensensitisasian nociceptor perifer dan dengan meningkatkan substansi P, suatu neuropeptida nociceptif (De Felipe et al., 1998; Dina et al., 2008). Selain itu, peningkatan aktivasi anterior cingulate cortex (ACC) dan insula selama stres sosial dikaitkan dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi yang diinduksi stres (Slavich et al., 2010). Peningkatan aktivasi ACC dan insula juga dikaitkan dengan derajat peradangan pada pasien asma yang menunjukkan rangsangan emosional dapat memperberat gejala asma, sehingga menunjukkan bahwa proses top-down dapat memediasi efek stres pada peradangan (Rosenkranz et al., 2005). Oleh karena itu, intervensi yang ditujukan untuk melemahkan perubahan yang diinduksi stres dalam pemrosesan saraf dapat memengaruhi hasil klinis SLE melalui penurunan proses inflamasi. Penerapannya pada SLE berpotensi memodulasi respons imun dan mengurangi kadar IL-1, sehingga meringankan gejala yang terkait dengan flare . Sampai saat ini belum ada studi yang melaporkan pegaruh terapi guided imagery terhadap kadar IL-1, cemas, dan nyeri pada pasien SLE yang mengalami flare. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menilai pengaruh guided imagery dalam menurunkan kadar IL-1, cemas, dan nyeri pada pasien SLE yang mengalami flare.