Hemofilia adalah kelainan bawaan yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh defisiensi faktor VIII atau faktor IX. Hal ini ditandai dengan adanya perdarahan spontan atau pascatrauma ke dalam sendi, otot, dan jaringan lunak, yang dapat menyebabkan kecacatan. Hemofilia pada anak mempengaruhi kualitas hidup dalam berbagai aspek antara lain aspek kesehatan, fisik, sosial, dan pendidikan.1 Kualitas hidup terkait kesehatan (health-related quality of life / HRQoL) pada anak-anak dengan hemofilia seringkali lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak sehat. Anak-anak dengan hemofilia juga sering mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik dan sosial yang dapat menghambat perkembangan normal mereka.1 Pembatasan aktivitas seringkali dilakukan oleh orangtua terhadap anak untuk mencegah terjadinya trauma. Anak-anak juga sering tidak masuk sekolah karena episode perdarahan berulang. Rasa sakit atau ketidaknyamanan yang menyertai episode perdarahan juga merupakan faktor yang membatasi atau mengganggu fungsi fisik, perkembangan sosial dan intelektual serta kinerja akademik.2,3 Anak-anak dan remaja dengan hemofilia juga mengalami kesulitan untuk berpartisipasi penuh dalam aktivitas sehari-hari karena seringnya kunjungan ke rumah sakit dan seringnya disuntik faktor VIII atau IX. 4,5,6 Hemofilia A (defisiensi faktor VIII) lebih sering terjadi pada 1:5.000 kelahiran anak laki-laki, sedangkan hemofilia B (defisiensi faktor IX) terjadi pada 1:30.000 kelahiran anak laki-laki. Hasil survey World Federation of Hemophilia (WFH) tahun 2018 menyebutkan 210.454 penderita hemofilia di seluruh dunia tersebar di 116 negara, 178.711 penderita hemofilia A, 34.289 penderita hemofilia B, dan 2.454 penderita hemofilia tipe lain yang tidak diketahui. Di Indonesia, terdapat 2.035 penderita hemofilia A dan 310 penderita hemofilia. Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) melaporkan hingga bulan Juni 2012, tercatat jumlah penderita sebanyak 1.410 orang. 7-10 Hemofilia merupakan gangguan koagulasi yang paling sering dijumpai dengan manifestasi perdarahan. Manifestasi perdarahan dapat terjadi pada beberapa organ dan berdampak pada kualitas hidup karena mengalami masalah fisik, psikososial seperti penurunan persepsi diri, kemampuan di sekolah yang lebih rendah dibandingkan anak sehat.11-13
Penelitian terkait kualitas hidup anak dengan hemofilia menggunakan instrumen kualitas hidup tertentu untuk hemofilia di Indonesia belum banyak di teliti. Instrumen penilaian kualitas hidup yang tepat telah dikembangkan sehingga lebih sensitif terhadap permasalahan penderita hemofilia termasuk dampak dari terapi spesifik dan luaran penyakit. Instrumen yang divalidasi dan dikembangkan dalam 2 dekade terakhir termasuk Hemophilia-Specific Quality of Life Index (Haemo-QoL). Instrumen Haemo-QoL menilai kualitas rata-rata kehidupan anak dengan hemofilia adalah 45,1±14,7 dengan faktor yang paling mempengaruhi adalah keluarga, terapi, dan faktor kesehatan fisik. Kualitas hidup anak dengan hemofilia dan faktor yang mempengaruhinya berbeda di setiap negara, bukan hanya karena perbedaan di negara tersebut jumlah penderita tetapi juga masalah lintas budaya antar negara. Kualitas hidup pada pasien dengan penyakit kronis seperti asma, diabetes melitus, dan leukemia telah banyak mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kualitas hidup anak dengan hemofilia sebagian besar masih terabaikan. Penilaian kualitas hidup anak dengan hemofilia bertujuan untuk menilai tingkat kualitas hidup anak dengan hemofilia sesuai usia dan intervensi dini jika terdapat gangguan kualitas hidup. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak dengan hemofilia dengan kuisioner Haemo-QoL pediatric di RSUD dr. Moewardi Surakarta.