Gangguan pendengaran (hearing impairment atau hearing loss) merujuk pada berbagai kondisi yang berefek pada abilitas individu dalam menerima stimulus suara atau komunikasi (Tanna, Lin and Jesus, 2023). Insidensi penurunan pendengaran mencapai 5-27 individu per 100.000 populasi per tahun sebanding dengan 66.000 kasus baru per tahun (Tanna, Lin and Jesus, 2023). Faktor risiko gangguan pendengaran meliputi gangguan metabolik, termasuk diabetes melitus dan penyakit ginjal tahap akhir. Prevalensi penurunan pendengaran pada penyakit ginjal tahap akhir bervariasi pada 28-77% diberbagai studi, utamanya pada pasien yang menjalani hemodialisis (Jamaldeen et al., 2015). Pada pasien dengan penyakit ginjal akhir, penurunan pendengaran umumnya ditemui high frequency hearing loss. Studi menunjukkan high frequency hearing loss mencapai 77,5% di frekuensi 2 kHz dan 8 kHz dibandingkan low frequency hearing loss hanya ditemui pada 27,5% populasi (Jamaldeen et al., 2015). Studi lain melaporkan 77,14% pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan dialisis mengalami high frequency hearing loss (Izzattisselim and Purnami, 2020). Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir umum ditemui berupa derajat sedang, bilateral, dan tipe sensorineural dengan frekuensi tertinggi didapatkan diangka 8000 Hz (Izzattisselim and Purnami, 2020; Agrawal and Singh, 2023). Penyakit ginjal tahap akhir didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi ginjal atau perkiraan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Pasien dianggap menderita penyakit ginjal tahap akhir ketika fungsi ginjal menurun hingga 85% atau lebih rendah dari garis dasar atau baseline (Narayanan and Setia, 2019). Penyakit ginjal tahap akhir sering kali disertai dengan komplikasi otolaringologi, seperti epistaksis, gangguan pengecapan, dan mulut kering, di mana yang paling umum adalah kerusakan pada sistem vestibular pendengaran (Kim et al., 2021; Hidayangsih et al., 2023; Shim, Choi and Wee, 2023; Zou et al., 2024). Efek penyakit ginjal tahap akhir pada kasus otologi terkait disfungsi audiovestibular yang sering persisten dan sulit diobati. Stria vaskularis di telinga dan nefron memiliki kesamaan fisiologis, anatomis, dan farmakologis yang penting. Pada stria vaskularis, imunoglobulin yang dibuat untuk nefron juga tersimpan. Selain itu, labirin di telinga dapat mengalami perubahan elektrolit dan osmotik. Gangguan ginjal tahap akhir yang juga berdampak pada koklea. Perubahan ini juga dapat dipicu oleh prosedur hemodialisis dan transplantasi ginjal, yang menyebabkan gangguan pendengaran, utamanya SNHL, vertigo, dan tinnitus (Agrawal and Singh, 2023). Mekanisme fisiologis pada koklea dan ginjal serupa, yaitu transpor aktif cairan dan elektrolit melalui stria vaskularis di koklea dan glomeruli ginjal. Cedera glomerulus karena elektrolit dan ketidakseimbangan hormonal merusak sel rambut koklea, mengakibatkan gangguan pendengaran sensorineural yang umumnya terjadi pada frekuensi tinggi (Mishra et al., 2019). Mikrosirkulasi di telinga tengah melibatkan mekanisme transportasi selektif yang menjaga gradien kimia ion antara darah, perilimfe, dan endolimfe. Jaringan kapiler di stria vaskularis memiliki epitel vaskular khusus yang penting untuk mengatur potensi endokoklea dan transportasi ion. Ion kalium berperan utama dalam homeostasis ionik, transduksi sensorik, dan pemeliharaan potensi endokoklea. Cedera pada stria vaskularis dapat mengakibatkan hilangnya potensi endokoklea, yang mungkin terjadi akibat hipoksia (Primadewi et al., 2023). Hemodialisis merupakan pengobatan untuk penyakit ginjal, sering dikaitkan dengan kehilangan pendengaran, sementara penggunaan obat tertentu, seperti aminoglikosida, dapat memperparah kondisi tersebut (Zou et al., 2024). Selain itu, gangguan pendengaran juga dikaitkan dengan tinitus, karena berkurangnya keluaran dari koklea yang rusak menyebabkan peningkatan aktivitas spontan di nukleus koklea dorsal. Studi tentang efek ototoksik pada pendengaran menunjukkan bahwa stres oksidatif adalah penyebab utama dalam patofisiologi ototoksisitas (Mishra et al., 2019). Katalase (catalase/CAT) merupakan enzim antioksidan yang memecah proses stres oksidatif secara seluler dengan konversi hidrogen peroksida yang bersifat radikal meningkatkan kondisi ROS menjadi air dan oksigen yang bersifat non-toksik (Nandi et al., 2019). Ketidakseimbangan ROS dapat merusak fisiologi seluler dan menginduksi apoptosis serta inflamasi, yang menyebabkan kerusakan koklea permanen (Teraoka et al., 2024). Apoptosis, salah satunya, dapat ditemui pada aktivasi fase ekstrinsik melalui peningkatan caspase-3 (Jan and Chaudhry, 2019). Stres oksidatif juga dapat secara langsung menyebabkan kerusakan pada sel pendengaran seperti Outer Hair Celss (OHC) dan Inner Hair Cells (IHC) sehingga berdampak pada timbulnya gangguan pendengaran (Helzner & Contrera, 2015). Hal ini didasari dengan meningkatnya Caspase-3 yang memicu apoptosis OHC dan IHC. Pada dasarnya, apoptosis merupakan proses fisiologis yang normal, dimana terjadi kematian sel yang terprogram (Wang and Ye, 2021). Apoptosis pada jalur intrinsik dan ekstrinsik diperantarai oleh kaskade caspase, yaitu caspase-3 (Jan and Chaudhry, 2019). Evaluasi penanda penurunan pendengaran pada gagal ginjal tahap akhir dapat dilakukan melalui parameter darah. Darah dinilai merepresentasikan gangguan sistemik, aksesabilitas baik, dan adanya hubungan interaksi koklea-sirkulasi sistemik melalui blood-labyrinth barrier. Kerusakan blood-labyrinth barrier dapat menyebabkan pelepasan protein penanda gangguan telinga ke sirkulasi sistemik yang menunjukkan keterlibatan antara sirkusi darah dan gangguan di telinga (Doo et al., 2020; ABDELATIF, 2022; Parker, Parham and Skoe, 2022; Al-Azzawi and Stapleton, 2023). N-acetylcysteine (NAC), merupakan bentuk dari gugus sulfhydryl dalam sel yang berinteraksi dengan ROS untuk eliminasi radikal bebas. Pada penggunaannya, sebuah studi menunjukkan bahwa penggunaan NAC dikaitkan menurunkan risiko perkembangan penyakit penyakit ginjal tahap akhir menuju end stage renal disease (ESRD). Sebuah meta-analisis dilakukan untuk menganalisis efektivitas serta keamanan NAC pada kasus penyakit ginjal tahap akhir. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil laju filtrasi glomerulus serta serum kreatinin secara statistik lebih baik pada kelompok NAC dibandingkan kelompok kontrol (Somda? et al., 2020; Baek et al., 2023; Chiu et al., 2023; Zadro?niak, Szyma?ski and ?uszczki, 2023; Hernández-Cruz et al., 2024). Sampai dengan saat ini sejauh pengetahuan peneliti, publikasi terkait pengaruh pemberian N-Acetyl Cysteine terhadap katalase, caspase 3, dan pendengaran pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir.