Endometriosis merupakan salah satu tumor ginekologi akibat adanya pertumbuhan endometrium atau jaringan serupa di luar rongga rahim. Secara global, endometriosis terjadi pada 10-15% wanita usia subur dan 35-50% wanita dengan nyeri panggul dan/atau infertilitas (Smolarz et al., 2021). Di Indonesia, diperkirakan endometriosis ditemui pada 13,6-69,5% wanita, namun masih diperlukan uji epidemiologi lebih lanjut terkait hal tersebut (Soraya A., 2019). Disisi lain, insidensi kanker ovarium di seluruh dunia diperkirakan dimiliki oleh 225.000 wanita dengan mortilitas sebanyak 145.000 jiwa (Ferlay et al., 2015). Indonesia menduduki peringkat kesepuluh sebagai negara dengan insidensi kanker ovarium terbanyak dengan 13.310 kasus baru setiap tahunnya. Mortalitas akibat kanker ovarium di Indonesia adalah 7.842 pasien per tahun atau mewakili 4,34% kematian akibat kanker secara umum (The Global Cancer Observatory, 2020). Beberapa penelitian menemukan bahwa endometriosis dapat berprogresi kearah malignansi. Oleh karena itu, risiko kanker ovarium akibat endometriosis atau yang lebih dikenal dengan Endometriosis-Associated Ovarian Cancer (EAOC) perlu diwaspadai (Sun & Liu, 2021). Studi pada 20.686 wanita Swedia yang dirawat di rumah sakit akibat endometriosis melaporkan bahwa rasio kejadian perkembangan ke arah kanker ovarium selama terapi dalam rentang 11,4 tahun adalah 1,9 (95% CI 1,3-2,8). Diperkirakan risiko progresi menjadi kanker ovarium meningkat pada pasien dengan riwayat endometriosis lama (Samartzis E et al., 2020). BRAF (v-raf murine sarcoma viral oncogene homolog B1) adalah protein kinase serin/treonin yang memainkan peran penting dalam jalur pensinyalan sel mitogen yang diaktifkan melalu jalur protein kinase (MAPK) RAS-RAFMEK-ERK. Aktivasi jalur ini mentransfer sinyal ekstraseluler pada sel melalui kaskade fosforilasi, yang menyebabkan perubahan ekspresi gen, pertumbuhan sel, memperpanjang kelangsungan hidup dan diferensiasi dalam sel normal maupun sel abnormal. BRAF adalah onkogen kuat yang diaktifkan pada sekitar 8% dari semua kanker. Mayoritas mutasi BRAF terjadi dalam domain aktivasi kinase, yang menghasilkan aktivasi konstitutif BRAF dan fosforilasi MEK, terlepas dari aktivasi oleh reseptor tirosin kinase atau RAS. Hal ini menyebabkan aktivasi ERK yang konstitutif sehingga meningkatkan pertumbuhan sel dan penghindaran apoptosis dan pada akhirnya, transformasi neoplastik (Lokhandwala et al., 2019). Mutasi BRAF yang paling umum, ditemukan pada lebih dari 90% tumor yang bermutasi BRAF, adalah substitusi valin dengan asam glutamat pada asam amino 600 (V600E) dalam domain aktivasi kinase. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia (IHC) dengan antibodi klonal VE1 sensitif dan spesifik untuk mendeteksi mutasi genomik BRAF V600E. Temuan ini memungkinkan penggunaan IHC, yang merupakan metodologi yang berpotensi lebih cepat, lebih murah dan lebih tersedia untuk menilai status mutasi BRAF dalam jaringan pasien yang difiksasi formalin dan tertanam di media paraffin (Schirosi et al., 2016). Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara mutasi gen BRAF dengan terjadinya EAOC, metode skrining dan diagnostik untuk temuan epidemiologis penyakit ini masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menilai risiko perkembangan keganasan melalui pengujian mutasi genetik untuk mengevaluasi, memprediksi dan mendiagnosis EAOC secara efektif. Hal ini dibutuhkan karena tatalaksana pada endometriosis maupun kanker ovarium sangat berbeda sehingga dibutuhkan metode diagnostik untuk memprediksi adanya risiko malignansi dari endometriosis menjadi kanker ovarium. Penelitian ini akan memanfaatkan kumpulan data terkait jaringan karsinoma ovarium yang tersedia di rumah sakit kolaborator untuk menyelidiki hubungan prognostik dan klinikohistopatologis dari mutasi gen BRAF pada proses malignansi endometriosis menjadi karsinoma ovarium.