Berdasarkan data GLOBOCAN 2020, dilaporkan 45,25% kasus baru kanker serviks, 31,24% kasus baru kanker endometrium, dan 23,51% kasus baru kanker ovarium secara global (Rezaee, 2023). Kanker serviks, endometrium, dan ovarium termasuk dalam sepuluh jenis kanker paling umum yang menyerang wanita di dunia (Zhang et al., 2022). Di Indonesia, kanker serviks merupakan jenis kanker paling umum, di mana kanker serviks menyumbang 9,3% dari total kasus baru(Budiana et al., 2023). Data GLOBOCAN 2018 menunjukkan bahwa kanker endometrium mencapai 6.745 kasus baru di Indonesia, menjadikannya kanker ginekologi yang signifikan di negara ini (Budiana et al., 2023). Meskipun data lengkap untuk tahun 2020 hingga 2024 belum tersedia, tren yang ada menunjukkan kanker ginekologi masih menjadi masalah kesehatan yang mendesak, terutama kanker serviks yang terus berkontribusi terhadap angka kematian yang tinggi dengan 341.831 kematian global pada tahun 2020 (Rezaee, 2023). Tingginya prevalensi kanker ginekologi ini tidak hanya menjadi masalah medis yang memerlukan penanganan serius, tetapi juga memberikan dampak besar pada aspek psikologis dan sosial kehidupan pasien Kanker ginekologi, termasuk kanker ovarium, servik, dan endometrium, merupakan penyakit serius yang tidak hanya mengancam nyawa tetapi juga berdampak signifikan pada kesehatan mental dan kualitas hidup pasien. Penelitian menunjukkan bahwa kanker ginekologi dapat menyebabkan perubahan emosional dan sosial yang mendalam, terutama karena dampaknya terhadap sistem reproduksi wanita, yang berhubungan erat dengan identitas dan kesehatan holistik mereka (W. A. Setiawan, 2021); (Marianthi et al., 2023). Berbeda dengan jenis kanker lainnya, kanker ginekologi menyerang sistem reproduksi wanita, yang terkait erat dengan identitas diri, peran sosial, dan kesehatan holistik perempuan. Akibatnya, penderita kanker ginekologi sering kali menghadapi tantangan emosional dan sosial yang lebih kompleks. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Koo et al., 2022), kanker serviks misalnya, tidak hanya berdampak pada kondisi fisik pasien, tetapi juga memicu tekanan psikologis, seperti kecemasan akan kehilangan fungsi reproduksi, perubahan citra tubuh, dan kekhawatiran terhadap kehidupan seksual. Untuk mengatasi berbagai dampak fisik dan psikologis ini, diperlukan pendekatan terapi yang menyeluruh, baik melalui pembedahan, kemoterapi, maupun radioterapi, guna meningkatkan kualitas hidup pasien. Penyakit kanker Ginekologi sangat khas dengan identitas Feminisnya. Seksualitas yang tidak dimiliki oleh kanker lain, karena pada kanker Ginekologi memiliki efek antara lain Perubahan fisik akibat kanker ginekologi, seperti operasi pengangkatan rahim (histerektomi) atau ovarium, memengaruhi persepsi pasien terhadap kewanitaannya, kesuburan, dan kemampuan seksual. Hal ini membuat pengalaman tidur pasien menjadi lebih kompleks, karena gangguan tidur sering kali berhubungan dengan distres emosional. Pengobatan kanker, seperti histerektomi atau ooforektomi, dapat menyebabkan perubahan fisik yang mempengaruhi persepsi pasien terhadap kewanitaannya, kesuburan, dan kemampuan seksual (Muhit et al., 2022; Roussin et al., 2023; Velure et al., 2021) Pasien kanker ginekologi, seperti kanker ovarium dan endometrium, sering mengalami gangguan tidur yang terkait dengan distres emosional, seperti kecemasan dan depresi (Aquil et al., 2021, Rades et al., 2021). Gangguan tidur ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan fisik akibat operasi (Armbruster et al., 2018), efek samping pengobatan (Tejada et al., 2019) dan komorbiditas (Rades et al., 2022) Selain itu, gangguan tidur juga dapat memengaruhi kualitas hidup pasien, termasuk fungsi seksual dan kesuburan (Joly et al., 2019) Dalam perspektif feminism (Isue Gender dan kewanitaan), tubuh perempuan sering kali dikaitkan dengan seksualitas dan peran biologisnya, seperti kemampuan reproduksi. Kanker ginekologi menyerang organ-organ tersebut sehingga memicu konflik emosional terkait peran perempuan sebagai istri atau ibu. Kanker ginekologi, seperti kanker serviks, ovarium, dan endometrium, dapat berdampak signifikan pada identitas feminin dan seksualitas pasien (Spagnoletti et al., 2022, Pitcher et al., 2020; , Chow et al., 2021). Hal ini dapat memicu konflik emosional terkait peran perempuan sebagai istri atau ibu (Al‐Omari et al., 2022; Chowdhury et al., 2021). Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh, penurunan harga diri, dan kesulitan dalam menjalin hubungan (Banovcinova & Jandurova, 2018; Roussin et al., 2023) Kanker ginekologi sering kali menyebabkan disfungsi seksual, seperti: Penurunan libido: Pasien kanker ginekologi, seperti kanker ovarium dan endometrium, sering mengalami penurunan libido akibat perubahan fisik dan emosional terkait penyakit dan pengobatannya (Lopez et al., 2019; Muhit et al., 2022 , Donkers et al., 2018). Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor seperti perubahan citra tubuh, gangguan kesuburan, dan distres psikologis (Pitcher et al., 2020; , Sekse et al., 2019), selanjutnya Nyeri, Nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia), Dispareunia merupakan salah satu masalah seksual yang umum dialami pasien kanker ginekologi (Bernard et al., 2023; Stenfelt et al., 2020). Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan anatomi dan fisiologi akibat pengobatan, seperti atrofi vagina, fibrosis, dan disfungsi seksual (Crean-Tate et al., 2020; Filippini et al., 2022). Kemudian Hilangnya kepercayaan diri terhadap penampilan fisik akibat perubahan tubuh: Perubahan fisik akibat kanker ginekologi, seperti amputasi organ reproduksi, dapat menyebabkan pasien merasa tidak percaya diri dengan penampilan fisiknya (Donkers et al., 2018). Hal ini dapat berdampak pada fungsi seksual dan hubungan interpersonal pasien. Pasangan dari pasien kanker ginekologi juga dapat mengalami distres emosional dan kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan seksual pasien (Pitcher et al., 2020; , Sekse et al., 2019) Kondisi ini meningkatkan risiko pasangan mencari Wanita idaman lain. Kanker ginekologi memberikan dampak fisik, psikologis, dan sosial yang signifikan antara lain Efek fisik, Pasien mengalami nyeri, efek samping kemoterapi seperti mual, muntah, dan kelemahan (Noor Baloch, 2023, Rades et al., 2023). - Perubahan fisik akibat pengobatan, seperti amputasi organ reproduksi, dapat menyebabkan disfungsi seksual (Donkers et al., 2018; , Pitcher et al., 2020). Selanjutnya Efek Emosiona, pada efek emosional pasien mengalami kecemasan, depresi, dan perasaan kehilangan identitas kewanitaan (Mattei et al., 2022; Rades et al., 2023) - Perubahan citra tubuh dan fungsi seksual dapat memicu distres emosional (Donkers et al., 2018; , Pitcher et al., 2020). Adapun Efek sosial, dimana Pasien mengalami konflik dalam hubungan pasangan akibat perubahan fungsi seksual (Pitcher et al., 2020; , (Chowdhury et al., 2021). Pasangan juga dapat mengalami distres emosional dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan pasien (Pitcher et al., 2020). Pasien merasa takut kehilangan pasangan karena keterbatasan dalam fungsi seksual (Pitcher et al., 2020) Terapi kanker serviks sering kali menggunakan pendekatan multimodal, termasuk pembedahan untuk mengangkat jaringan kanker, diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi guna menurunkan risiko kekambuhan (Winata, 2021). Pendekatan ini bertujuan meningkatkan prognosis pasien dan mengurangi beban penyakit di negara berkembang seperti Indonesia. Selain pendekatan multimodal yang melibatkan pembedahan dan radioterapi, kemoterapi juga memegang peranan penting dalam tata laksana kanker ginekologi, khususnya kanker serviks dan ovarium. Kemoterapi merupakan metode utama dalam penanganan kanker ginekologi, termasuk kanker serviks dan ovarium. Obat-obatan sitotoksik digunakan untuk menghancurkan sel kanker, tetapi sering kali disertai efek samping fisik dan psikologis yang signifikan. Efek samping umum meliputi mual, muntah, kelelahan, kerontokan rambut, serta gangguan hemat opoietik seperti anemia dan leukopenia (Djuwarno, 2023; Setyani et al., 2020). Meskipun pasien sudah menerima obat antiemetik, mual dan muntah tetap dapat mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memengaruhi siklus kemoterapi (F, 2019). Efek samping fisik seperti kelelahan dan perubahan penampilan juga dapat memperburuk kondisi psikologis pasien, menyebabkan kecemasan dan depresi(A’la, 2023; Haris, 2023). Selain efek samping fisik dan psikologis, kemoterapi juga sering menyebabkan gangguan tidur yang berdampak pada kualitas hidup pasien kanker ginekologi. Pasien kanker ginekologi sering mengalami gangguan tidur, yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk efek samping dari pengobatan, kondisi fisik, dan aspek psikologis yang terkait dengan diagnosis kanker. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur adalah masalah umum di kalangan pasien kanker, termasuk mereka yang menderita kanker serviks, ovarium, dan endometrium. Sebuah studi menunjukkan bahwa pasien kanker, termasuk yang mengalami kanker ginekologi, memiliki tingkat insomnia yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh nyeri, kecemasan, dan depresi yang sering menyertai diagnosis kanker dan perawatannya (Liu etal., 2021). Selain itu, efek samping dari terapi kanker, seperti kemoterapi dan radiasi, juga dapat berkontribusi pada gangguan tidur. Misalnya, terapi hormon yang digunakan dalam pengobatan kanker ovarium dapat menyebabkan perubahan hormonal yang berdampak pada pola tidur (Dongetal., 2015). Lebih jauh lagi, penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker ginekologi yang mengalami gangguan tidur cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dan dapat mengalami peningkatan keparahan gejala kanker (Raoufetal., 2018). Gangguan tidur ini tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental pasien, yang dapat memperburuk prognosis keseluruhan mereka (Ansary etal., 2021). Sebagai tambahan dari faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, berbagai penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa pasien kanker ginekologi yang menjalani terapi, seperti kemoterapi atau terapi hormon, cenderung mengalami penurunan kualitas tidur yang signifikan. Pasien kanker ginekologi yang menjalani kemoterapi atau terapi hormon sering mengalami penurunan kualitas tidur yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk efek samping dari pengobatan, gejala fisik yang terkait dengan kanker, serta dampak psikologis dari diagnosis dan perawatan. Sebuah studi oleh Amelia menunjukkan bahwa pasien kanker yang menjalani kemoterapi melaporkan penurunan kualitas tidur yang signifikan, yang berdampak pada sistem kekebalan tubuh mereka Amelia (2023). Penurunan kualitas tidur ini dapat memperburuk kondisi kesehatan secara keseluruhan dan mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan kanker. Menurut Diyu (2024) juga mencatat bahwa wanita dengan kanker payudara dan servik yang menjalani kemoterapi mengalami masalah tidur yang signifikan, termasuk kesulitan tidur dan insomnia. Kanker ginekologi menjadi salah satu perhatian khusus di Jawa tengah khususnya Semarang. Berdasarkan data dari DDK Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2018, ditemukan sebanyak 406 kasus positif kanker servik (I. P. Putri et al., 2019). Hasil penelusuran data RME (Rekam Medis Elektronik) Rumah sakit di SMC RS Telogorejo Semarang tahun 2024, kanker ginekologi menduduki peringkat kedua dalam jumlah kasus, dengan jumlah 96 kasus kanker. Temuan tersebut sejalan dari hasil penelusuran rumah sakit di SMC RS Telogorejo Semarang di bulan desember 2024 dengan melibatkan wawancara dengan 3 partisipan kanker servik, 100 % dari jumlah partisipan mengatakan mengalami gangguan tidur, seperti setiap kali ia bergerak, rasa nyeri tajam menjalar di area panggul dan punggung bawah, kelelahan, bahkan setelah tidur sepanjang malam, Namun, bukan hanya fisik yang menjadi tantangan. Partisipan juga merasakan beban psikososial yang sangat berat. Kecemasan menghantuinya setiap malam, memikirkan prognosis penyakit dan masa depan anak-anaknya. Partisipan merasa terasing dari teman-teman, yang seolah menjauh karena tidak tahu bagaimana bersikap. Stres karena biaya pengobatan juga menambah kepanikan, membuatnya bertanya-tanya bagaimana ia akan mengatasi semua ini. Kesulitan tidur dan insomnia menunjukkan bahwa intervensi non-farmakologis dapat berperan penting dalam meningkatkan kualitas tidur pasien kanker. Sebuah studi oleh Aqmarinietal. menemukan bahwa kualitas tidur pasien kanker ginekologi sangat dipengaruhi oleh tingkat kecemasan dan depresi yang mereka alami selama pengobatan (Aqmarinietal., 2022). Kecemasan yang tinggi sering kali mengganggu kemampuan pasien untuk tidur dengan baik, sehingga memperburuk kualitas hidup mereka. Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan psikologis dan intervensi seperti terapi perilaku kognitif dapat membantu mengatasi masalah tidur yang dialami pasien kanker (Tisnasarietal., 2022). Secara keseluruhan, berbagai faktor yang saling berinteraksi, seperti efek samping pengobatan, tekanan psikologis, dan kondisi fisik, berkontribusi terhadap gangguan tidur pada pasien kanker ginekologi. Temuan ini menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam menangani masalah tidur, yang mencakup intervensi medis, dukungan psikologis, serta dukungan sosial yang memadai untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien dengan kanker ginekologi yang menjalani kemoterapi sering mengalami penurunan kualitas tidur, yang merupakan masalah signifikan dalam manajemen kesehatan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan tidur, termasuk kesulitan memulai tidur dan kualitas tidur yang buruk, sangat umum di kalangan pasien kanker. Sebuah studi yang melaporkan bahwa 70% dari 80 responden wanita dengan kanker servik yang menjalani kemoterapi mengalami kualitas tidur yang buruk, dengan gangguan tidur malam (51,2%) dan kesulitan memulai tidur (46,2%) menjadi keluhan utama (Medeiros et al., 2019). Kualitas tidur yang buruk tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan fisik tetapi juga dapat berdampak pada kualitas hidup secara keseluruhan. Sebuah tinjauan sistematis oleh González et al. menekankan pentingnya memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker, termasuk kualitas tidur (Liu et al., 2018). Berdasarkan observasi yang di lakukakan para peneliti, gangguan tidur pada pasien dengan kanker ginekologi dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi, termasuk efek samping dari pengobatan, kondisi fisik yang terkait dengan kanker, serta aspek psikologis dan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa pasien kanker sering mengalami kualitas tidur yang buruk, yang dapat dipicu oleh beberapa faktor utama. Pertama, efek samping dari kemoterapi dan terapi hormon sering kali menjadi penyebab utama gangguan tidur. Sebuah studi oleh Kiyak dan Polat menunjukkan bahwa 75,3% peserta mengalami kualitas tidur yang buruk, yang terkait dengan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi Kiyak&Polat (2023). Selain itu, penelitian oleh Aktaş dan Terzioğlu mengindikasikan bahwa pasien kanker ginekologi mengalami penurunan kualitas hidup yang signifikan, yang berkontribusi pada gangguan tidur (Aktaş&Terzioğlu, 2015). Efek samping fisik dari pengobatan, seperti nyeri, mual, dan kelelahan, juga dapat mengganggu pola tidur pasien (Tometich, 2023). Kedua, faktor psikologis seperti kecemasan dan depresi berperan penting dalam gangguan tidur. Sebuah meta-analisis oleh Zhuetal. menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas tidur pasien kanker, dengan 18,8% dan 12,8% varians kualitas tidur dapat dijelaskan oleh kedua faktor tersebut (Zhuetal., 2023). Nyeri yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kesulitan untuk tidur dan mempertahankan tidur yang nyenyak, sehingga memperburuk kualitas tidur secara keseluruhan. Secara keseluruhan, Rasa sakit di daerah panggul atau perut akibat kanker ginekologi memang menjadi salah satu penyebab utama gangguan tidur pada pasien.