Kecemasan merupakan kondisi psikologis seseorang yang memiliki respon emosional terhadap penilaian yang menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik (Siregar, 2022). Selama proses perawatan, kecemasan tidak hanya dirasakan oleh seorang pasien, namun dapat juga dialami oleh keluarga pasien. Selain itu keterlibatan keluarga juga berpengaruh terhadap penurunan kecemasan, peningkatan kualitas perawatan, penurunan depresi pada pasien, dan lamanya perawatan. Keluarga pasien merupakan salah satu pemegang penuh keputusan, ketika pasien dalam keadaan darurat maupun kritis dan harus diberikan penanganan segera. Pasien yang masuk ke IGD dalam kondisi gawat darurat akan dilakukan triase (Purwacaraka, M., Hidayat, S., 2022). World Health Organization (WHO) mendefinisikan gangguan kecemasan adalah gangguan kesehatan mental dengan prevalensi yang tinggi dan memberikan ancaman terhadap kesehatan. Data WHO yang dirilis pada tahun 2019 menunjukkan bahwa sekitar 301 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan kecemasan dengan sekitar 58 juta anak-anak dan remaja (Zahra et al., 2024). Gangguan kecemasan sudah menjadi hal yang umum terjadi di kalangan remaja di Indonesia. Menurut data surveymeter tahun 2020 didapatkan 58% penduduk mengalami gangguan kecemasan. Pada tahun berikutnya Kemenkes menunjukkan bahwa 47,7% remaja di Indonesia mengalami gangguan kecemasan. Sedangkan pada tahun 2022, survei yang dilakukan oleh National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) mengungkapkan bahwa dalam 12 bulan terakhir terdapat 15,5 juta remaja di Indonesia menderita kondisi gangguan kesehatan mental seperti gangguan kecemasan (Zahra et al., 2024). Reaksi seseorang terhadap situasi yang tidak menyenangkan dalam kehidupan sehari- hari sering kali terwujud dalam bentuk cemas (Sisy Rizkia, 2020). Kecemasan muncul ketika seseorang merasakan ancaman dari sumber eksternal atau internal, yang menyebabkan perasaan takut dan sakit yang mengakibatkan kekhawatiran dan kegelisahan, mengganggu kedamaian dan kesehatan, dan dapat bermanifestasi sebagai kekacauan fisik (Pasongli & Malinti, 2021). Faktor yang mempengaruhi kecemasan terbagi menjadi dua meliputi faktor internal yang meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman di rawat dan faktor eksternal yang meliputi kondisi medis atau diagnosis penyakit, akses informasi, komunikasi terapeutik, lingkungan, fasilitas kesehatan (Nurdin & Amandaty, 2024). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Setyowati dan Indawati (2022) yakni hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien yang akan menghadapi operasi (Setyowati & Indawati, 2022). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga (72%) yang merasa mendapatkan dukungan sosial yang cukup dari perawat cenderung memiliki mekanisme koping yang adaptif. Sebaliknya, keluarga yang merasa kurang mendapatkan dukungan sosial (36%) cenderung menggunakan mekanisme koping yang maladaptive. Jika semakin baik dukungan yang diberikan perawat maka semakin baik pula cara keluarga dalam mengatasi masalah kecemasan yang mereka hadapi. Kecemasan sering kali diiringi oleh perasaan khawatir, gelisah, ketidaknyamanan, dan keraguan dalam diri serta penurunan kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan (Kapu, 2020). Perasaan tidak percaya diri ini dalam menghadapi suatu masalah membuat seseorang menjadi cemas dengan apa yang akan dihadapinya sehingga efikasi diri dapat mempengaruhi kecemasan seseorang. Menurut Schwarzer (1997) kecemasan berkorelasi negatif dengan efikasi diri dimana individu yang merasa tidak mampu untuk mengatasi tugas-tugas yang menantang, memiliki kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang merasa mampu (Purnamasari, 2020). Tingkat kecemasan setiap anggota keluarga bervariasi dengan adanya perubahan perilaku dan emosi yang diakibatkan oleh kecemasan yang dapat berimbas pada pola pikir dan motivasi keluarga dalam menjalankan perannya sehingga berdampak pada motivasi dan kemampuan mereka untuk menjalankan fungsi keluarga. Alasan yang menyebabkan kecemasan keluarga pasien yaitu kurangnya informasi tentang penyakit anggota keluarga mereka dan prosedur pengobatan yang sedang berlangsung (Kristiano et al., 2022). Apabila kecemasan yang dialami oleh keluarga tidak dapat diatasi dengan baik maka akan mengakibatkan peningkatan kecemasan pasien. Peningkatan kecemasan pasien tersebut akan berakibat, pasien menjadi ketakutan dan akan memperburuk kondisi pasien. Hal ini dikarenakan keluarga sebagai support sistem yang utama dalam mendukung proses kesembuhan dari pasien. Efikasi diri memiliki hubungan yang erat dengan pemilihan perilaku, motivasi, dan ketekunan individu dalam menghadapi tantangan (Dewi et al., 2023). Keyakinan yang ada di dalam efikasi diri menentukan seberapa besar seorang individu akan berupaya dan menunjukkan ketangguhannya ketika menghadapi situasi-situasi yang dapat menyebabkannya berperilaku maladaptive (Isnaeni, 2020). Efikasi diri menjadi penting bagi individu yang memiliki motivasi kuat untuk mencapai apa yang mereka inginkan (Bani Mukti & Tentama, 2019). Tinggi rendahnya efikasi diri seseorang akan menentukan kemampuan seseorang untuk merasakan sesuatu, berpikir, bermotivasi, dan berperilaku dengan sesuai (Kapu, 2020). Efikasi diri yang tinggi akan membuat seseorang lebih termotivasi dan fokus. Dalam hal ini, efikasi diri sebagai faktor internal. Faktor yang mempengaruhi efikasi diri terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal diri (Sri Komariah et al., 2023). Faktor internal yang mempengaruhi efikasi diri akademik, yaitu: minat, kesabaran, resiliensi, karakter, motivasi belajar sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi efikasi diri akademik, yaitu gaya kelekatan, rasa hangat, goal orientasi, enactive mastery experiences, persuasi verbal (Dewi et al., 2023). Efikasi diri berperan penting dalam mempertahankan semangat dan dedikasi dalam setiap tindakan yang diambil. Individu tersebut harus memiliki ketekunan dan dedikasi dalam menghadapi hambatan, serta memiliki kesabaran dan keteguhan hati saat berada dalam situasi yang tidak menyenangkan atau menguntungkan (Sukatin et al., 2023). Efikasi diri juga dapat berdampak pada kestabilan emosi individu. Kestabilan emosi mencerminkan kemampuan individu untuk mengatur dan mengendalikan perasaan mereka dalam menghadapi tekanan, stres, dan situasi emosional lainnya. Individu dengan kestabilan emosi yang baik cenderung mampu menjaga konsentrasi, mengelola kecemasan, dan tetap fokus pada tujuan Ketika pasien merasa didukung sepenuhnya oleh keluarganya, mereka akan memiliki keyakinan diri yang lebih tinggi untuk menghadapi tantangan dalam proses pengobatan. Dukungan keluarga ini berperan penting dalam menjaga semangat pasien dan mengurangi tingkat kecemasan mereka (Beno et al., 2022). Instalasi Gawat Darurat sebagai salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit yang menyediakan penanganan awal (bagi pasien yang datang langsung ke rumah sakit) atau lanjutan (bagi pasien rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan lain), menderita sakit ataupun cedera yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya (Permenkes RI No. 47 tahun 2018). IGD harus menerima, menstabilkan, dan mengatur pasien yang membutuhkan penanganan kegawatdaruratan segera, baik dalam kondisi sehari-hari maupun bencana (Permenkes RI No. 47 tahun 2018). Pada tahun 2019 jumlah kunjungan di IGD sebanyak 18.250.250 jiwa (13,1% dari jumlah total kunjungan yang datang untuk berobat ke rumah sakit). Jumlah yang signifikan ini kemudian memerlukan perhatian yang cukup besar dengan pelayanan pasien gawat darurat, pada tahun 2020 jumlah kunjungan di IGD sebanyak 27.251.031 jiwa (18,1% dari jumlah total kunjungan) dan pada tahun 2021 jumlah kunjungan di IGD sebanyak 31.241.031 jiwa (21,1% dari jumlah total kunjungan) (WHO, 2022). Di Indonesia data kunjungan pasien ke IGD di Indonesia pada Tahun 2020 sebanyak 8.597.000 (15,5% dari total seluruh kunjungan) jumlah Rumah Sakit Umum sebanyak 2.247 dan Rumah Sakit Khusus sebanyak 587 dari total 2.834 Rumah sakit, pada tahun 2021 sebanyak 10.124.000 (18,2% dari total kunjungan) dan pada tahun 2022 sebanyak 16.712.000 (28,2% dari total kunjungan) (Kemenkes RI, 2022). Perawat memiliki peran yang penting dalam memberikan dukungan sosial berupa informasi dan emosi kepada keluarga pasien (Kristiano et al., 2022). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar keluarga (72%) yang merasa mendapatkan dukungan sosial yang cukup dari perawat cenderung memiliki mekanisme koping yang adaptif. Sebaliknya, keluarga yang merasa kurang mendapatkan dukungan sosial (36%) cenderung menggunakan mekanisme koping yang maladaptive. Jika semakin baik dukungan yang diberikan perawat maka semakin baik pula cara keluarga dalam mengatasi masalah kecemasan yang mereka hadapi. Hal ini juga dibuktikan pada suatu penelitian yang dilakukan di Kelurahan Cempaka Kota Banjarbaru bahwa terdapat 71,4% responden yang memiliki efikasi diri baik dan kepatuhan melakukan aktifitas fisik yang baik sedangkan hanya 17,9% responden yang memiliki efikasi diri kurang baik tapi tetap patuh melakukan latihan fisik (Fahamsya et al., 2022). Tingkat kecemasan pasien yang berada di IGD berada pada tingkat kecemasan ringan (Telaumbanua & Sahrudi, 2022). Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan efikasi diri yang tinggi cenderung lebih mampu mengendalikan kecemasan saat menghadapi kondisi kritis di IGD, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan proses pemulihan pasien. Sehingga peneliti mengetahui apakah adanya hubungan antara efikasi diri terhadap kecemasan keluarga pasien di ruang di IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi.