Stroke merupakan penyakit neurologis umum yang menimbulkan tandatanda klinis yang berkembang sangat cepat berupa defisit neurologi fokal dan global, berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian (Sultradewi dkk, 2019). Penyakit stroke merupakan penyebab kematian kedua serta disabilitas ke tiga di dunia (Kemenkes RI, 2019). Stroke terjadi karena penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga dapat menyebabkan kelemahan psikis bahkan kelumpuhan pada bagian tertentu (Rekaiyah, 2019). Kejadian stroke merupakan penyebab utama gangguan fungsional, dimana 20% penderita yang bertahan hidup masih membutuhkan perawatan di institusi kesehatan sesudah 3 bulan serta 15-30% penderitanya mengalami cacat permanen (Nurhidayat dkk, 2021). Pasien stroke yang mengalami kecacatan fisik di Indonesia berjumlah 80-90% (Utami dkk, 2018). Salah satu dampak yang terjadi pada pasien stroke yaitu kelumpuhan pada bagian tertentu yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi Acitivity Daily Living (ADL) (Pratami dkk, 2016). Kelemahan diekstremitas dan penurunan fungsi mobilitas akan mengakibatkan pasien stroke ketergantungan sampai kondisi fisiknya membaik (Lingga, 2013). Activity Daily Living (ADL) tersebut mencakup dari bangun tidur hingga tidur kembali seperti makan dan minum, mandi, berpakaian, toileting sampai berhias (Rekaiyah, 2019). Jika kebutuhan ADL klien tidak dipenuhi akan memiliki dampak kepada klien, berupa dampak fisik yaitu klien mudah terserang berbagai penyakit fisik dan dampak psikososial yaitu gangguan interaksi sosial dalam aktivitas hidup sehari-hari (Afianti, 2019). Indikator kemandirian pasien stroke dalam melakukan aktivitas sehari-hari dapat di ukur mengunakan Indeks Barthel (Nurhidayat dkk, 2021). Indeks barthel sendiri merupakan suatu alat istrumen yang sudah banyak digunakan orang lain untuk mengukur kategori ketergantungan kemampuan fungsional dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Cahyati, 2018). Komponen Indeks barthel terdiri dari 10 item yang terdiri dari makan, mandi, berhias, berpakain, kontrol kandung kencing dan kontol anus, toileting, transfer dari kursi / tempat tidur, mobilisasi dan naik tangga (Rahmi, 2018) Pasien yang telah mendapat serangan stroke hingga mengalami kecacatan yang menetap dapat terjadi karena penderita tidak diberi rehabilitasi dengan baik, kecacatan juga dapat terjadi mungkin disebabakan keluarga sering kali memanjakan penderita dengan membantu secara berlebihan dan membiarkan penderita terbaring pasif menunggu kondisinya menjadi lebih baik (Astutik dkk, 2017). Menurut American Stroke Association (2016) hampir 800.000 (sekitar 795.00) orang di Amerika Serikat mengalami stroke yang baru atau berulang setiap tahun. Berdasarkan data world stroke organization didapatkan bahwa setiap tahun ada 13,7 juta kasus baru stroke, dan sekitar 5,5 juta kematian terjadi akibat penyakit stroke (Kemenkes RI, 2019). Menurut Riskesdas (2018) prevalensi stroke di Indonesia pada tahun 2018 meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu meningkat dari 7% menjadi 10,9%. Secara nasional prevalensi stroke di Indonesia tahun 2018 sesuai diagnosis dokter di penduduk umur ≥ 15 tahun sebesar 10,9%, atau diperkirakan sebesar 2.120.362 orang. Provinsi Kalimantan Timur (14,7%) dan di Yogyakarta (14,6%) merupakan provinsi dengan prevalensi tertinggi stroke pada Indonesia. Sementara itu Papua dan Maluku Utara memiliki prevalensi stroke terendah dibandingkan provinsi lainnya yaitu 4,1% dan 4,6%. Berdasarkan kelompok umur 55-65 tahun (33,3%) dan proporsi penderita stroke paling sedikit adalah pada kelompok umur 15-24 tahun. Laki-laki dan perempuan memiliki proporsi kejadian stroke yang hampir sama (Kemenkes RI, 2019). Sedangkan di Jawa Tengah terdapat 11,80 % penderita stroke berdasarkan diagnosa dokter (Riskesdas, 2018). Di wilayah Kota Surakarta terdapat kasus stroke di beberapa Puskesmas maupun Rumah Sakit didapatkan data pasien stroke hemorogik sebanyak 1.707 orang dan stroke iskemik sebanyak 4.356 orang (Profil Kesehatan Kota Surakarta, 2018). Untuk mengurangi kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh stroke dapat dilakukan dengan cara memberikan penanganan yang cepat dan tepat (Nuria, 2018). Keberhasilan penanganan stroke tergantung pada waktu pertolongan yang dihabiskan pada saat pasien mengalami serangan hingga medapatkan pertolongan medis (Time Saving) (Ratnawardani dkk, 2018). Sehingga penanganan yang tepat pada awal kejadian stroke (Golden Period) dapat menurungkan angka kecacatan 30% (Setianingsih dkk, 2019). Golden period merupakan istilah medis yg sering digunakan untuk menjelaskan waktu terbaik buat pemberian pertolongan pada pasien stroke (Karunia, 2016). Golden period (waktu emas) ini sangat efektif untuk tujuan utama penanganan stroke iskemik yaitu menyelamatkan jaringan otak yang menderita kekurangan pasokan nutrisi serta oksigen (Nuria, 2018). Golden period diberikan pada waktu kurang lebih tiga jam pasca terjangkit stroke dengan demikian kecacatan dapat dicegah, bila penanganan lebih dari 3 jam (Over Period) maka akan terjadi kecacatan permanen atau bahkan meninggal (Karunia, 2016). Pasien stroke yang terlambat mendapat penanganan akan mengakibatkan kerusakan neorologis yang dialami pasien stroke akan bersifat permanen (Mohtar, 2019). Dengan demikian perlu penanganan yang secepat mungkin untuk menurunkan angka cacat fisik akibat stroke (Sakti dan Florentianus, 2015). Berdasakan penelitian Nuria 2018 didapatkan hasil bahwa pasien stroke yang mendapatkan ketepatan golde n period yaitu sekitar 23 responden dengan derajat kerusakan neurologis ringan yaitu 52,1%, yang mengalami derajat kerusakan sedang 47,9% dan tidak ada yang mengalami derajat kerusakan neurologis sedang berat maupun berat (0%). Sedangkan pasien yang tidak mendapatkan ketepatan golden period sebanyak 37 responden dengan derajat kerusakan neurologis ringan 0%, sedang 16,2 %, sedang berat 37,8% dan berat 46,0% Bersadarkan fenomena tersebut dan studi pendahuluan yang saya lakukan di RSUD Dr. Moewardi terdapat pasien stroke iskemik selama 1 tahun terakhir sebanyak 532 orang. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti di bagian keparawatan bahwa pengukuran activity daily living (ADL) di RSUD Dr. Moewardi sudah menerapkan pengukuran menggunakan indeks barthel, maka peneliti tertarik melakukan penelitian apakah ada hubungan time saving (golden period dan over period) dengan kemampuan Activity Daily Living (ADL) berdasarkan indeks barthel pada pasien stroke iskemik.